Rabu, 02 Oktober 2013

Proses Pemeriksaan Perkara Pidana di Indonesia

TATA ATUR PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA 



KARYA : Guslian Ade Chandra 
Ketua Umum LSM Gerakan Aspirasi Pemuda Aceh  Republik Indonseia  
Aktifis Pemantauan Hukum dan Hak Asasi Manusia 



Tahap Penyelidikan

Seorang penyidik dalam melaksanakan tugasnya memiliki koridor hukum yang harus di patuhi, dan diatur secara formal apa dan bagaimana tata cara pelaksanaan, tugas-tugas dalam penyelidikan. Artinya para penyidik terikat kepada peraturan-peraturan, perundang-undangan, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam menjalankan tugasnya.
Dalam pelaksanaan proses penyidikan, peluang-peluang untuk melakukan penyimpangan atau penyalagunaan wewenang untuk tujuan tertentu bukan mustahil sangat dimungkinkan terjadi. Karena itulah semua ahli kriminalistik menempatkan etika penyidikan sebagai bagian dari profesionalisme yang harus d miliki oleh seorang penyidik sebagai bagian dari profesionalisme yang harus dimiliki oleh seorang penyidik. Bahkan, apabila etika penyidikan tidak dimiliki oleh seseorang penyidik dalam menjalankan tugas -tugas penyidikan, cenderung akan terjadi tindakan sewenang-wenang petugas yang tentu saja akan menimbulkan persoalan baru.
Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang mengatur dalam undang-undang No 26 tahun 2000 pasal I angka 5. Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) KUHAP, untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan. Namun untuk menjamin hak hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan Barang Bukti.

Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus menghormati asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sebagaimana di sebutkan dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP. Penerapan asas ini tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan hukum dan hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak hukum. Selanjutnya kesimpulan hasil penyelidikan ini disampaikan kepada penyidik.
Apabila didapati tertangkap tangan, tanpa harus menunggu perintah penyidik, penyelidik dapat segara melakukan tindakan yang diperlukan seperti penangkapan, larangan, meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan. Selain itu penyelidik juga dapat meakukan pemerikasaan surat dan penyitaan surat serta mengambil sidik jari dan memotret atau mengambil gambar orang atau kelopmpok yang tertangkap tangan tersebut. Selain itu penyidik juga dapat membawa dang mengahadapkan oarang atau kelompok tersebut kepada penyidik. Dalam hal ini Pasal 105 KUHAP menyatakan bahwa melaksanakan penyelidikan, penyidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik.


Tahap Penyidikan.

Pengertian penyidikan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang terdapat Pada Pasal 1 butir I yang berbunyi sebagai berikut:
Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia Atau Pejabat Pegawai Negari Sipil tertentunyang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Dari pengertian penyidik diatas, dalam penjelasan undang-undang disimpulkan mengenai pajabat yang berwenang untuk melakukan penyidikan yaitu: Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI); dan Pejabat Pegawai Negari Sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Selain penyidik, dalam KUHAP dikenal pula penyidik pembantu, ketentuan mengenai hal ini terdapat pada Pasal I butir 3 KUHAP, yangmenyebutkan bahwa:
“Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena diberikan diberi wewenang tertentu dapat melakukan penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini”.
Selanjutnya mengenai pengertian penyidik pembantu diatur dalam Pasal 1 Butir 12 Undang-undang No.2 tahun 2002, yang menyatakan Bahwa:
“Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang-undang”.
Mengenai Penyidik Negari Sipil Dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) KUHAP, Bahwa
“Yang dimaksud dengan penyidik dalam ayat ini adalah misalnya pejabat bea cukai, pejabat imigrasi, pejabat kehutanan yang melakukan tugas penyelidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.”
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan mengenai penyidik dan penyidik pembantu di atas, dapat diketahui bahwa untuk dapat melaksanakan tugas penyidikan harus ada pemberian wewenang. Mengenai pemberian wewenang tersebut menurut Andi Hamzah, berpendapat bahwa:
“Pemberian wewenang kepada penyidik bukan semata-mata didasarkan atas kekuasaan tetapi berdasarkan atas pendekatan kewajiban dan tanggung jawab yang diembannya, dengan demikian kewenangan yang diberikan disesuaikan dengan kedudukan, tingkat kepangkatan, pengetahuan serta ringannya kewajiban dan tanggung jawab penyidik.”


Tugas penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik POLRI adalah merupakan penyidik tunggal bagi tindak pidana Umum, tugasnya sebagai penyidik sangat sulit dan membutuhkan tanggung jawab yang besar, karena penyidikan merupakan tahap awal dari rangkaian proses penyelesaian perkara pidana yang nantinya akan berpengaruh bagi tahap proses peradilan selanjutnya.
Sedangkan pada Pasal I butir 2 KUHAP menjelaskan mengenai pengertian penyidikan, sebagai berikut:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”
Segubungan dengan hal tersebut Yahya Harahap memberikan Penjelasan mengenai penyidik dan penyidikan sebagai berikut:
“Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan ketentuan umum Pasal I Butir I dan 2, Merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan, penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi wewenang oleh undang-undang. Sadangkan penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang suatu tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya”


Sedangkan Andi Hamzah dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia menyimpulkan defenisi dari Pasal I Butir 2 KUHAP, sebagai berikut:
Penyidikan (acara pidana) hanya dapat dilakukan berdasarkan undang-undang, hal ini dapat disimpulkan dari kata-kata…menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Ketentuan ini dapat dibandingkan dengan Pasal 1 Ned.Sv. Yang berbunyi: Strafvordering heeft allen wet voorzien. (Hukum acara pidan dijalnkan hanya berdasarkan Undang-undang).
Acara pidana dijalankan jika terjadi tindak pidana hal ini dapat disimpulkan dari kata membuat terang tindak pidana yang terjadi, hal inilah yang tidak disetujui oleh Van Bemmelen, karena, katanya mungkin saja acara pidana berjalan tanpa terjadi delik; contoh klasik yang dikemukakan ialah kasus Jean Clas di Prancis yang menyangkut seorang Ayah dituduh membunuh anaknya, padahal itu tidak terjadi namun proses pidannya sudah berjalan.
Selanjutnya Andi Hamzah kembali bahwa Penyidikan ialah ialah suatu istilah yang dimaksud sejajar dengan pengertian Opsparing (Belanda), dan Investigation (Inggris) atau Penyisatan/Sjasat (Malaysia). Defenisi penyidikan dalam KUHAP. Menurut bahasa Belanda adalah sama dengan Opsporing.
Berikut ini Andi Hamzah mengutip pendapat De Pinto ang menyatakan bahwa; Menyidik (Opsporing). Beartipemeriksaan permulaan oleh Pejabat-pejabat yang untuk itu oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadinya suatu pelanggaran hukum
Penyidikan merupakan aktivitas yurisdis yang dilakukan penyelidik untuk mencari dan menemukan kebenaran sejati (Membuat terang jelas tentang tindak pidana yang terjadi.
Apa yang dikemukakan tentang penyelidikan tersebut diatas Buchari Said menyebutkan sebagai aktivitas yuridis, maksudnya adalah aktivitas yang dilakukan berdasarkan aturan-aturan hukum positif sebagai hasil dari tindakan tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan secara yuridis pula, karena kata yuridis menunjuk kepada adanya suatu peraturan hukum yang dimaksud tiada lain peraturan-peraturan mengenai hukum acara pidana.
Tujuan utama penyidikan adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti dapat membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal I butir 2 KUHAP
Dalam melaksanakan tugas penyidikan untuk mengungkapkan suatu tindak pidana, maka penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang sebagimana yang tercantum di dalam isi ketentuan Pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-udang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jo. Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa wewenang penyidik adalah sebagi berikut:
  1. Menerima Laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
  2. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
  3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
  4. melakukan penangkapan, penahanan,penggeledahan dan penyitaan;
  5. mengenai sidik jari dan memotret seseorang;
  6. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
  7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
  8. mendatang orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
  9. mengadakan penghentian penyidikan;
  10. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Penyidikan yang dilakukan tersebut didahului dengan pemberitahuan kepada penutut umum bahwa penyidikan terhadap suatu peristiwa pidana telah mulai dilakukan. Secara formal pemberitahuan tersebut disampaikan melalui mekanisme Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 109 KUHAP. Namun kekurangan yang dirasa sangat menghambat adalah tiada ada ketegasan dari kentuan tersebut kapan waktunya penyidikan harus diberitahukan kepada Penuntut Umum.

Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segara menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penutut umum. Dan dalam hal penutut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang lengkap. Penutut umum segera mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila pada saat penyidik menyerahkan hasil penyidikan, dalam waktu 14 Hari penutut umum tidak mengembalikan berkas tersebut, maka penyidikan dianggap selesai.



Tahap Penuntutan

Dalam Undang-undang ditentukan bahwa hak penututan hanya ada pada penututan umum yaitu Jaksa yang diberi wewenang oleh kitab-kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana No.8 tahun tahun 1981. Pada Pasal 1 butir 7 KUHAP Tercantum defenisi penututan sebagai berikut;

Penuntutan adalah tindakan penututan umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan suapay diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”

Yang bertugas menurut atau penuntut umum ditentukan di Pasal 13 jo Pasal butir 6 huruf b yang pada dasarnyan berbunyi :
Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penututan dan melaksanakan penetapan hakim “
Kemudian Muncul undang-undang No. 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya tidak diberlakukan lagi dan diganti oleh Undang-undang No. 16 tahun 2004, yang menyatakan bahwa kekuatan untuk melaksanakan penuntutan itu dilakukan oleh kejaksaan. Dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tetap Kejaksaan Republik Indonesia yang memberikan wewenang kepada Kejaksaan (Pasal 30), yaitu:
  1. Melakukan Penuntutan;
  2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
  3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersayarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat
  4. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
  5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dan penyidik.
Mengenai kebijakan penuntutan, penuntut umumlah yang menentukan suatu perkara hasil penyidikan, apakah sudah lengkap ataukah tidak untuk dilimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk diadili. Hal ini diatur dalam pasal 139 KUHAP. Jika menurut pertimbangan penututan umum suatu perkara tidak cukup bukti-bukti untuk diteruskan ke Pengadilan ataukah perkara tersebut bukan merupakan suatu delik, maka penuntut umum membuat membuat suatu ketetapan mengenai hal itu (Pasal 140 ayat (2) butir b (KUHAP). Mengenai wewenang penutut umum untuk menutup perkara demi hukum seperti tersebut dalam Pasal 140 (2) butir a (KUHAP), Pedoman pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan bahwa “Perkara ditutup demi hukum” diartikan sesuai dengan buku I Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bab VIII tentang hapusnya hak menuntut yang diatur dalam Pasal 76;77;78 dan 82 KUHP.
Penuntutan Perkara dilakukan oleh Jaksa Penuntut umum, dalam rangka pelaksanaan tugas penuntutan yang diembannya. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penempatan hakim.

Dalam melaksanakan penuntutan yang menjadi wewenangnya, penuntut Umum segera membuat surat dakwaan berdasarkan hasil penyidikan. Dalam hal didapati oleh penuntut umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa pidana atau perkara ditutup demi hukum, maka penuntut umum menghentikan penuntutan yang dituangkan dalam suatu surat ketetapan. Apabila tersangka berada dalam tahanan tahanan, sedangkan surat ketetapan telah diterbitkan maka tersangka harus segera di keluarkan dari tahanan. Selanjutnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut dikeluarkan dari tahanan. Selanjutnnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut dibertahukan kepada tersangka. Turunan surat ketetapan tersebut disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim. Atas surat ketetapan ini maka dapat dimohon praperadilan, sebagaimana diatur dalam BAB X, bagian kesatu KUHAP dan apabila kemudian didapati alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.

Nebis in Idem berarti tidak melakukan pemeriksaan untuk kedua kalinya mengenai tindakan (feit) yang sama. Ketentuan ini disahkan pada pertimbangan, bahwa suatu saat (nantinya) harus ada akhir dari pemeriksaan/penuntutan dan akhir dari baliknya ketentuan pidana terhadap suatu delik tertentu. Asas ini merupakan pegangan agar tidak lagi mengadakan pemeriksaan/penuntutan terhadap pelaku yang sama dari satu tindakan pidana yang sudah mendapat putusan hukum yang tetap.
Dengan maksud untuk menghindari dua putusan terhadap pelaku dan tindakan yang sama juga akan menghindari usaha penyidikan/ penuntutan terhadap perlakuan delik yang sama, yang sebelumnya telah pernah ada putusan yang mempunyai kekuatan yang tetap. Tujuan dari atas ini ialah agar kewibawaan negara tetap junjung tinggi yang berarti juga menjamin kewibawaan hakim serta agar terpelihara perasaan kepastian hukum dalam masyarakat
Agar supaya suatu perkara tidak dapat diperiksa untuk kedua kalinya apabila; Pertama Perbuatan yang didakwakan (untuk kedua kalinya) adalah sama dengan yang didakwakan terdahulu. Kedua Pelaku yang didakwa (kedua kalinya) adalah sama. Ketiga untuk putusan yang pertamateri terhadap tindakan yang sama itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Belakangan dasar ne bis in idem itu digantungkan kepada beberapa hal bahwa terhadap seseorang itu juga mengenai peristiwa yang tertentu telah diambil keputusan oleh hakim dengan vonis yang tidak diubah lagi. Putusan :
Pertama: 
Penjatuhan Hukuman (veroordeling) Dalam hal ini oleh hakim diputuskan, bahwa terdakwa terang salah telah melakukan peritiwa pidana yang dijatuhkan kepadanya;atau
Kedua: 
Pembebasan dari penuntutan hukum (ontslag van rechtvervoging) Dalam hal ini hakim memutuskan, bahwa peristiwa yang dituduhkan kepada terdakwa itu dibuktikan dengan cukup terang, akan tetapi peritiwa itu ternyata bukan peristiwa pidana, atau terdakwanya keadapatan tidak dapat di hukum karena tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya itu, bahwa keslahan terdakwa atas peristiwa yang dituduhkan kepadanya tidak cukup buktinya.


Dalam Pasal 77 KUHP yang berbunyi: Hak Menuntut hukum gugur (tidak berlaku lagi) lantaran si terdakwa meninggal dunia. Apabila seorang terdakwa meninggal dunia sebelum putus ada putusan terakhir dari pengadilan maka hak menuntut gugur. Jika hal ini terjadi dalam taraf pengutusan, maka pengusutan itu dihentikan. Jika penuntut telah dimajukan, maka penuntut umum harus oleh pengadilan dinyatakan tidak dapat diterima dengan tentunya (Niet-ontvankelijk) umumnya demikian apabila pengadilan banding atau pengadilan kasasi masih harus memutuskan perkaranya.
Pasal 82 82 KUHP yang berbunyi : Ayat (1) :” Hak menuntut hukum karena pelanggaran yang terancam hukuman utama tak lain dari pada denda, tidak berlaku lagi bagi maksimun denda dibayar dengan kemauan sendiri dan demikian juga di bayar ongkos mereka, jika penilaian telah dilakukan, dengan izin amtenaar yang ditunjuk dalam undang-undang umum, dalam tempo yang ditetapkannya”.
Ayat (2): ”Jika perbuatan itu terencana selamanya denda juga benda yang patut dirampas itu atau dibayar harganya, yang ditaksir oleh amtenaar yang tersebut dalam ayat pertama”.
Ayat (3):” Dalam hal Hukuman itu tambah diubahkan berulang-ulang membuat kesalahan, boleh juga tambahan itu dikehendaki jika hak menuntut hukuman sebab pelanggaran yang dilakukan dulu telah gugur memenuhi ayat pertama dan kedua dari pasal itu’.
Ayat (4);”Peraturan dari pasal ini tidak berlaku bagi orang yang belum dewasa ,yang umumnya sebelum melakukan perbuatan itu belum cukup enam belas tahun”.
Penghapusan hak penuntutan bagi penuntut umum yang diatur dalam Pasal 82 KUHP mirip dengan ketentuan hukum perdata mengenai transaksi atau perjanjian. 

Tahap Pemeriksaan Pengadilan

Apabila terhadap suatu perkara pidana telah dilakukan penuntutan, maka perkara tersebut diajukan kepengadilan. Tindak Pidana tersebut untuk selanjutnya diperiksa, diadili dan diputus oleh majelis hakim dan Pengadilan Negeri yang berjumlah 3 (Tiga) Orang.
Pada saat majelis hakim telah ditetapkan, selanjutnya ditetapkan hari sidang. Pemberitahuan hari sidang disampaikan oleh penuntut umum kepada terdakwa di alat tempat tinggalnya atau disampaikan di tempat kediaman terakhir apabila tempat tinggalnya diketahui. Dalam hal ini surat panggilan memuat tanggal, hari serta jam dan untuk perkara apa ia dipanggil. Surat panggilan termaksud disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.
Sistem pembuktian yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang yang negatif (Negatif wettelijk). Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pasal 183 KUHAP menyatakan:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadinya dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Berdasarkan pernyataan tersebut, nyatalah bahwa pembuktian harus didasarkan apad alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang disertai keyakinan hakim atas alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, yang terdiri dari:

  1. Keterangan saksi;
  2. Keterangan Ahli;
  3. Surat;
  4. Petunjuk; dan
  5. Keterangan terdakwa.
Disamping itu kitab Undang-undang hukum Acara Pidana juga menganut minimun pembuktian (minimum bewijs), sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 tersebut. Minimun pembuktian berarti dalam memutuskan suatu perkara pidana hakim harus memutuskan berdasarkan sejumlah alat bukti. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memberikan batasan minimal penggunaan alat bukti, yaitu minimal dua alat bukti, yaitu minimal dua alat bukti disertai oleh keyakinan hakim.

Tahap memeriksaan perkara pidana dipengadilan ini dilakukan setelah tahap pemeriksaan pendahuluan selesai. Pemeriksaan ini dilandaskan pada sistem atau model Accusatoir, dan dimulai dengan menyampaikan berkas perkara kepada Public prosecutor.

Pemeriksaan dimuka sidang pengadilan diawali dengan pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan ynag dilakukan secara sah menurut undang-undang. Dalam hal ini KUHAP pasal 154 telah memberikan batasan syarat undang undang dalam hali KUHAP pasal 154 telah memberikan batasan syarat syahnya tentang pemanggilan kepada terdakwa, dengan ketentuan;
Surat panggilan kepada terdakwa disampaikan di alat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir.
Apabila terdakwa tidak ada ditempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir
dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara.
Penerimaan surat panggilan terdakwa sendiri ataupun orang lain atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan
apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya.

PROSES PERKARA PIDANA MASUK KE PENGADILAN BERDASARKAN KUHAP



BERDASARKAN HUKUM ACARA PIDANA ADALAH SEBAGAI BERIKUT : 

  1. Pelimpahan perkara ke pengadilan oleh Jaksa Penuntut Umum di sertai dengan surat dakwaan. Keterangan. Pasal 143 KUHAP
  2. Kemudian Ketua PN mempelajarinya, apakah perkara tersebut masuk wewenangnya atau bukan.Keterangan. Pasal 147 KUHAP
  3. Maka setelah itu Ketua PN menetapkan, bahwa PN tersebut berwenang mengadili, dan PN tersebut tidak berwenang mengadili. Keterangan. Pasal 84 KUHAP














Tidak ada komentar:

Posting Komentar