TATA ATUR PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA
KARYA : Guslian Ade Chandra
Ketua Umum LSM Gerakan Aspirasi Pemuda Aceh Republik Indonseia
Aktifis Pemantauan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Tahap
Penyelidikan
Seorang penyidik dalam melaksanakan tugasnya memiliki
koridor hukum yang harus di patuhi, dan diatur secara formal apa dan bagaimana
tata cara pelaksanaan, tugas-tugas dalam penyelidikan. Artinya para penyidik
terikat kepada peraturan-peraturan, perundang-undangan, dan ketentuan-ketentuan
yang berlaku dalam menjalankan tugasnya.
Dalam pelaksanaan proses penyidikan, peluang-peluang
untuk melakukan penyimpangan atau penyalagunaan wewenang untuk tujuan tertentu
bukan mustahil sangat dimungkinkan terjadi. Karena itulah semua ahli
kriminalistik menempatkan etika penyidikan sebagai bagian dari profesionalisme
yang harus d miliki oleh seorang penyidik sebagai bagian dari profesionalisme
yang harus dimiliki oleh seorang penyidik. Bahkan, apabila etika penyidikan
tidak dimiliki oleh seseorang penyidik dalam menjalankan tugas -tugas
penyidikan, cenderung akan terjadi tindakan sewenang-wenang petugas yang tentu
saja akan menimbulkan persoalan baru.
Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan
penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut
cara yang mengatur dalam undang-undang No 26 tahun 2000 pasal I angka 5.
Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan, mencari
keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan
menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggung jawab. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1)
KUHAP, untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dapat
melakukan penangkapan. Namun untuk menjamin hak hak asasi tersangka, perintah
penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan Barang Bukti.
Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini
tetap harus menghormati asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)
sebagaimana di sebutkan dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP. Penerapan asas
ini tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan hukum dan hak-hak tersangka
dari kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak hukum. Selanjutnya
kesimpulan hasil penyelidikan ini disampaikan kepada penyidik.
Apabila didapati tertangkap tangan, tanpa harus
menunggu perintah penyidik, penyelidik dapat segara melakukan tindakan yang
diperlukan seperti penangkapan, larangan, meninggalkan tempat, penggeledahan
dan penyitaan. Selain itu penyelidik juga dapat meakukan pemerikasaan surat dan
penyitaan surat serta mengambil sidik jari dan memotret atau mengambil gambar
orang atau kelopmpok yang tertangkap tangan tersebut. Selain itu penyidik juga
dapat membawa dang mengahadapkan oarang atau kelompok tersebut kepada penyidik.
Dalam hal ini Pasal 105 KUHAP menyatakan bahwa melaksanakan penyelidikan,
penyidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik.
Tahap Penyidikan.
Pengertian penyidikan diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana yang terdapat Pada Pasal 1 butir I yang berbunyi sebagai
berikut:
“Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia Atau Pejabat Pegawai Negari Sipil tertentunyang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.“
Dari pengertian penyidik diatas, dalam penjelasan
undang-undang disimpulkan mengenai pajabat yang berwenang untuk melakukan
penyidikan yaitu: Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI); dan Pejabat
Pegawai Negari Sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk
melakukan penyidikan.
Selain penyidik, dalam KUHAP dikenal pula penyidik
pembantu, ketentuan mengenai hal ini terdapat pada Pasal I butir 3 KUHAP,
yangmenyebutkan bahwa:
“Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang karena diberikan diberi wewenang tertentu dapat
melakukan penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini”.
Selanjutnya mengenai pengertian penyidik pembantu
diatur dalam Pasal 1 Butir 12 Undang-undang No.2 tahun 2002, yang menyatakan
Bahwa:
“Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepada Kepolisian Negara Republik
Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam
melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang-undang”.
Mengenai Penyidik Negari Sipil Dijelaskan lebih lanjut
dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) KUHAP, Bahwa
“Yang dimaksud dengan penyidik dalam ayat ini adalah
misalnya pejabat bea cukai, pejabat imigrasi, pejabat kehutanan yang melakukan
tugas penyelidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh
undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.”
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan mengenai
penyidik dan penyidik pembantu di atas, dapat diketahui bahwa untuk dapat
melaksanakan tugas penyidikan harus ada pemberian wewenang. Mengenai pemberian
wewenang tersebut menurut Andi Hamzah, berpendapat bahwa:
“Pemberian wewenang kepada penyidik bukan semata-mata
didasarkan atas kekuasaan tetapi berdasarkan atas pendekatan kewajiban dan
tanggung jawab yang diembannya, dengan demikian kewenangan yang diberikan
disesuaikan dengan kedudukan, tingkat kepangkatan, pengetahuan serta ringannya
kewajiban dan tanggung jawab penyidik.”
Tugas penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik POLRI
adalah merupakan penyidik tunggal bagi tindak pidana Umum, tugasnya sebagai
penyidik sangat sulit dan membutuhkan tanggung jawab yang besar, karena
penyidikan merupakan tahap awal dari rangkaian proses penyelesaian perkara
pidana yang nantinya akan berpengaruh bagi tahap proses peradilan selanjutnya.
Sedangkan pada Pasal I butir 2 KUHAP menjelaskan
mengenai pengertian penyidikan, sebagai berikut:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”
Segubungan dengan hal tersebut Yahya Harahap
memberikan Penjelasan mengenai penyidik dan penyidikan sebagai berikut:
“Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan
ketentuan umum Pasal I Butir I dan 2, Merumuskan pengertian penyidikan yang
menyatakan, penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri tertentu
yang diberi wewenang oleh undang-undang. Sadangkan penyidik sesuai dengan cara
yang diatur dalam undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti, dan
dengan bukti itu membuat atau menjadi terang suatu tindak pidana yang terjadi
serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya”
Sedangkan Andi Hamzah dalam bukunya
Hukum Acara Pidana Indonesia menyimpulkan defenisi dari Pasal I Butir 2 KUHAP,
sebagai berikut:
Penyidikan (acara pidana) hanya dapat dilakukan
berdasarkan undang-undang, hal ini dapat disimpulkan dari kata-kata…menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini. Ketentuan ini dapat dibandingkan
dengan Pasal 1 Ned.Sv. Yang berbunyi: Strafvordering heeft allen wet
voorzien. (Hukum acara pidan dijalnkan hanya berdasarkan
Undang-undang).
Acara pidana dijalankan jika terjadi tindak pidana hal
ini dapat disimpulkan dari kata membuat terang tindak pidana yang terjadi, hal
inilah yang tidak disetujui oleh Van Bemmelen, karena, katanya mungkin saja
acara pidana berjalan tanpa terjadi delik; contoh klasik yang dikemukakan ialah
kasus Jean Clas di Prancis yang menyangkut seorang Ayah dituduh membunuh
anaknya, padahal itu tidak terjadi namun proses pidannya sudah berjalan.
Selanjutnya Andi Hamzah kembali bahwa Penyidikan ialah
ialah suatu istilah yang dimaksud sejajar dengan pengertian Opsparing
(Belanda), dan Investigation (Inggris) atau Penyisatan/Sjasat (Malaysia).
Defenisi penyidikan dalam KUHAP. Menurut bahasa Belanda adalah sama dengan
Opsporing.
Berikut ini Andi Hamzah mengutip pendapat De Pinto ang
menyatakan bahwa; Menyidik (Opsporing). Beartipemeriksaan permulaan oleh
Pejabat-pejabat yang untuk itu oleh undang-undang segera setelah mereka dengan
jalan apapun mendengar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadinya suatu
pelanggaran hukum
Penyidikan merupakan aktivitas yurisdis yang dilakukan
penyelidik untuk mencari dan menemukan kebenaran sejati (Membuat terang jelas
tentang tindak pidana yang terjadi.
Apa yang dikemukakan tentang penyelidikan tersebut
diatas Buchari Said menyebutkan sebagai aktivitas yuridis, maksudnya adalah
aktivitas yang dilakukan berdasarkan aturan-aturan hukum positif sebagai hasil
dari tindakan tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan secara yuridis pula,
karena kata yuridis menunjuk kepada adanya suatu peraturan hukum yang dimaksud
tiada lain peraturan-peraturan mengenai hukum acara pidana.
Tujuan utama penyidikan adalah untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti dapat membuat terang suatu tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal I butir 2 KUHAP
Dalam melaksanakan tugas penyidikan untuk
mengungkapkan suatu tindak pidana, maka penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang
sebagimana yang tercantum di dalam isi ketentuan Pasal 7 ayat (1) Kitab
Undang-udang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jo. Pasal 16 ayat (1) Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia, yang
menyebutkan bahwa wewenang penyidik adalah sebagi berikut:
- Menerima
Laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
- melakukan
tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
- menyuruh
berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
- melakukan
penangkapan, penahanan,penggeledahan dan penyitaan;
- mengenai
sidik jari dan memotret seseorang;
- memanggil
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
- Memanggil
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
- mendatang
orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
- mengadakan
penghentian penyidikan;
- mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Penyidikan yang dilakukan tersebut didahului dengan
pemberitahuan kepada penutut umum bahwa penyidikan terhadap suatu peristiwa
pidana telah mulai dilakukan. Secara formal pemberitahuan tersebut disampaikan
melalui mekanisme Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Hal
tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 109 KUHAP. Namun kekurangan yang dirasa
sangat menghambat adalah tiada ada ketegasan dari kentuan tersebut kapan
waktunya penyidikan harus diberitahukan kepada Penuntut Umum.
Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan,
penyidik wajib segara menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penutut umum.
Dan dalam hal penutut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang
lengkap. Penutut umum segera mengembalikan berkas perkara tersebut kepada
penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila pada saat penyidik menyerahkan
hasil penyidikan, dalam waktu 14 Hari penutut umum tidak mengembalikan berkas
tersebut, maka penyidikan dianggap selesai.
Tahap Penuntutan
Dalam Undang-undang ditentukan bahwa hak penututan
hanya ada pada penututan umum yaitu Jaksa yang diberi wewenang oleh kitab-kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana No.8 tahun tahun 1981. Pada Pasal 1 butir 7
KUHAP Tercantum defenisi penututan sebagai berikut;
“Penuntutan adalah tindakan penututan umum untuk
melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan suapay
diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”
Yang bertugas menurut atau penuntut umum ditentukan di
Pasal 13 jo Pasal butir 6 huruf b yang pada dasarnyan berbunyi :
“Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang
oleh undang-undang ini untuk melakukan penututan dan melaksanakan penetapan
hakim “
Kemudian Muncul undang-undang No. 5 tahun 1991 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya tidak diberlakukan lagi dan
diganti oleh Undang-undang No. 16 tahun 2004, yang menyatakan bahwa kekuatan
untuk melaksanakan penuntutan itu dilakukan oleh kejaksaan. Dalam Undang-undang
No. 16 Tahun 2004 tetap Kejaksaan Republik Indonesia yang memberikan wewenang
kepada Kejaksaan (Pasal 30), yaitu:
- Melakukan
Penuntutan;
- Melaksanakan
penetapan hakim dan putusan pengadilan dan telah memperoleh kekuatan hukum
tetap;
- Melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersayarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat
- Melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
- Melengkapi
berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
dan penyidik.
Mengenai kebijakan penuntutan, penuntut umumlah yang
menentukan suatu perkara hasil penyidikan, apakah sudah lengkap ataukah tidak
untuk dilimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk diadili. Hal ini diatur dalam
pasal 139 KUHAP. Jika menurut pertimbangan penututan umum suatu perkara tidak
cukup bukti-bukti untuk diteruskan ke Pengadilan ataukah perkara tersebut bukan
merupakan suatu delik, maka penuntut umum membuat membuat suatu ketetapan
mengenai hal itu (Pasal 140 ayat (2) butir b (KUHAP). Mengenai wewenang penutut
umum untuk menutup perkara demi hukum seperti tersebut dalam Pasal 140 (2)
butir a (KUHAP), Pedoman pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan bahwa “Perkara
ditutup demi hukum” diartikan sesuai dengan buku I Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Bab VIII tentang hapusnya hak menuntut yang diatur dalam Pasal 76;77;78
dan 82 KUHP.
Penuntutan Perkara dilakukan oleh Jaksa Penuntut umum,
dalam rangka pelaksanaan tugas penuntutan yang diembannya. Penuntut Umum adalah
Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan
dan melaksanakan penempatan hakim.
Dalam melaksanakan penuntutan yang menjadi
wewenangnya, penuntut Umum segera membuat surat dakwaan berdasarkan hasil
penyidikan. Dalam hal didapati oleh penuntut umum bahwa tidak terdapat cukup
bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa pidana atau perkara
ditutup demi hukum, maka penuntut umum menghentikan penuntutan yang dituangkan
dalam suatu surat ketetapan. Apabila tersangka berada dalam tahanan tahanan,
sedangkan surat ketetapan telah diterbitkan maka tersangka harus segera di
keluarkan dari tahanan. Selanjutnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut
dikeluarkan dari tahanan. Selanjutnnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut
dibertahukan kepada tersangka. Turunan surat ketetapan tersebut disampaikan
kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan
negara, penyidik dan hakim. Atas surat ketetapan ini maka dapat dimohon
praperadilan, sebagaimana diatur dalam BAB X, bagian kesatu KUHAP dan apabila
kemudian didapati alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan
terhadap tersangka.
Nebis in Idem berarti tidak melakukan pemeriksaan untuk kedua
kalinya mengenai tindakan (feit) yang sama. Ketentuan ini
disahkan pada pertimbangan, bahwa suatu saat (nantinya) harus ada akhir dari
pemeriksaan/penuntutan dan akhir dari baliknya ketentuan pidana terhadap suatu
delik tertentu. Asas ini merupakan pegangan agar tidak lagi mengadakan
pemeriksaan/penuntutan terhadap pelaku yang sama dari satu tindakan pidana yang
sudah mendapat putusan hukum yang tetap.
Dengan maksud untuk menghindari dua putusan terhadap
pelaku dan tindakan yang sama juga akan menghindari usaha penyidikan/
penuntutan terhadap perlakuan delik yang sama, yang sebelumnya telah pernah ada
putusan yang mempunyai kekuatan yang tetap. Tujuan dari atas ini ialah agar
kewibawaan negara tetap junjung tinggi yang berarti juga menjamin kewibawaan
hakim serta agar terpelihara perasaan kepastian hukum dalam masyarakat
Agar supaya suatu perkara tidak dapat diperiksa untuk
kedua kalinya apabila; Pertama Perbuatan yang didakwakan (untuk kedua kalinya)
adalah sama dengan yang didakwakan terdahulu. Kedua Pelaku yang didakwa (kedua
kalinya) adalah sama. Ketiga untuk putusan yang pertamateri terhadap tindakan
yang sama itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Belakangan dasar ne bis in idem itu
digantungkan kepada beberapa hal bahwa terhadap seseorang itu juga mengenai
peristiwa yang tertentu telah diambil keputusan oleh hakim dengan vonis yang
tidak diubah lagi. Putusan :
Pertama:
Penjatuhan Hukuman (veroordeling) Dalam
hal ini oleh hakim diputuskan, bahwa terdakwa terang salah telah melakukan
peritiwa pidana yang dijatuhkan kepadanya;atau
Kedua:
Pembebasan dari penuntutan hukum (ontslag van
rechtvervoging) Dalam hal ini hakim memutuskan, bahwa peristiwa yang
dituduhkan kepada terdakwa itu dibuktikan dengan cukup terang, akan tetapi
peritiwa itu ternyata bukan peristiwa pidana, atau terdakwanya keadapatan tidak
dapat di hukum karena tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya itu,
bahwa keslahan terdakwa atas peristiwa yang dituduhkan kepadanya tidak cukup
buktinya.
Dalam Pasal 77 KUHP yang berbunyi: Hak Menuntut hukum gugur (tidak
berlaku lagi) lantaran si terdakwa meninggal dunia. Apabila seorang terdakwa
meninggal dunia sebelum putus ada putusan terakhir dari pengadilan maka hak
menuntut gugur. Jika hal ini terjadi dalam taraf pengutusan, maka pengusutan
itu dihentikan. Jika penuntut telah dimajukan, maka penuntut umum harus oleh
pengadilan dinyatakan tidak dapat diterima dengan tentunya (Niet-ontvankelijk)
umumnya demikian apabila pengadilan banding atau pengadilan kasasi masih harus
memutuskan perkaranya.
Pasal 82 82 KUHP yang berbunyi : Ayat (1) :” Hak
menuntut hukum karena pelanggaran yang terancam hukuman utama tak lain dari
pada denda, tidak berlaku lagi bagi maksimun denda dibayar dengan kemauan
sendiri dan demikian juga di bayar ongkos mereka, jika penilaian telah
dilakukan, dengan izin amtenaar yang ditunjuk dalam undang-undang umum, dalam
tempo yang ditetapkannya”.
Ayat (2): ”Jika perbuatan itu terencana selamanya
denda juga benda yang patut dirampas itu atau dibayar harganya, yang ditaksir
oleh amtenaar yang tersebut dalam ayat pertama”.
Ayat (3):” Dalam hal Hukuman itu tambah diubahkan
berulang-ulang membuat kesalahan, boleh juga tambahan itu dikehendaki jika hak
menuntut hukuman sebab pelanggaran yang dilakukan dulu telah gugur memenuhi
ayat pertama dan kedua dari pasal itu’.
Ayat (4);”Peraturan dari pasal ini tidak berlaku bagi
orang yang belum dewasa ,yang umumnya sebelum melakukan perbuatan itu belum
cukup enam belas tahun”.
Penghapusan hak penuntutan bagi penuntut umum yang
diatur dalam Pasal 82 KUHP mirip dengan ketentuan hukum perdata mengenai
transaksi atau perjanjian.
Tahap Pemeriksaan Pengadilan
Apabila terhadap suatu perkara pidana telah dilakukan
penuntutan, maka perkara tersebut diajukan kepengadilan. Tindak Pidana tersebut
untuk selanjutnya diperiksa, diadili dan diputus oleh majelis hakim dan
Pengadilan Negeri yang berjumlah 3 (Tiga) Orang.
Pada saat majelis hakim telah ditetapkan, selanjutnya
ditetapkan hari sidang. Pemberitahuan hari sidang disampaikan oleh penuntut
umum kepada terdakwa di alat tempat tinggalnya atau disampaikan di tempat
kediaman terakhir apabila tempat tinggalnya diketahui. Dalam hal ini surat
panggilan memuat tanggal, hari serta jam dan untuk perkara apa ia dipanggil.
Surat panggilan termaksud disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum
sidang dimulai.
Sistem pembuktian yang dianut oleh Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang yang
negatif (Negatif wettelijk). Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 183 Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pasal 183 KUHAP menyatakan:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadinya dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Berdasarkan pernyataan tersebut, nyatalah bahwa
pembuktian harus didasarkan apad alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang
disertai keyakinan hakim atas alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan,
yang terdiri dari:
- Keterangan
saksi;
- Keterangan
Ahli;
- Surat;
- Petunjuk;
dan
- Keterangan
terdakwa.
Disamping itu kitab Undang-undang hukum Acara Pidana
juga menganut minimun pembuktian (minimum bewijs), sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 183 tersebut. Minimun pembuktian berarti dalam memutuskan suatu perkara
pidana hakim harus memutuskan berdasarkan sejumlah alat bukti. Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana memberikan batasan minimal penggunaan alat
bukti, yaitu minimal dua alat bukti, yaitu minimal dua alat bukti disertai oleh
keyakinan hakim.
Tahap memeriksaan perkara pidana dipengadilan ini
dilakukan setelah tahap pemeriksaan pendahuluan selesai. Pemeriksaan ini
dilandaskan pada sistem atau model Accusatoir, dan dimulai dengan menyampaikan
berkas perkara kepada Public prosecutor.
Pemeriksaan dimuka sidang pengadilan diawali dengan
pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan ynag dilakukan secara sah
menurut undang-undang. Dalam hal ini KUHAP pasal 154 telah memberikan batasan
syarat undang undang dalam hali KUHAP pasal 154 telah memberikan batasan syarat
syahnya tentang pemanggilan kepada terdakwa, dengan ketentuan;
Surat panggilan kepada terdakwa disampaikan di alat
tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan
di tempat kediaman terakhir.
Apabila terdakwa tidak ada ditempat kediaman terakhir,
surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum tempat
tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir
dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan
disampaikan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara.
Penerimaan surat panggilan terdakwa sendiri ataupun
orang lain atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan
apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir
tidak dikenal, surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung
pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya.
PROSES PERKARA PIDANA MASUK KE PENGADILAN
BERDASARKAN KUHAP
BERDASARKAN HUKUM ACARA PIDANA ADALAH SEBAGAI BERIKUT :
- Pelimpahan
perkara ke pengadilan oleh Jaksa Penuntut Umum di sertai dengan surat
dakwaan. Keterangan. Pasal 143 KUHAP
- Kemudian
Ketua PN mempelajarinya, apakah perkara tersebut masuk wewenangnya atau
bukan.Keterangan. Pasal 147 KUHAP
- Maka
setelah itu Ketua PN menetapkan, bahwa PN tersebut berwenang mengadili,
dan PN tersebut tidak berwenang mengadili. Keterangan. Pasal 84 KUHAP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar